Hukum Menjadi Pegawai Negeri?
HUKUM MENJADI PEGAWAI NEGERI?
Oleh.
Syaikh Ali bin Abdul Hamid bin Hasan Al-Halaby
Pertanyaan.
Syaikh Ali bin Abdul Hamid bin Hasan Al-Halaby ditanya : Kita tinggal di sebuah negara yang tidak berhukum dengan syari’at Allah. Pertanyaannya, bolehkah kita menjadi pegawai pada negara tersebut? Apakah jika menunaikan kewajiban kita sebagai pegawai dapat dianggap tolong-menolong dalam hal dosa dan permusuhan? Jelaskanlah kepada kami, semoga Allah memberikan balasan yang baik kepada Syaikh.
Jawaban.
Saya katakan, sangat disayangkan, kebanyakan negeri Islam -apalagi yang bukan negeri Islam- tidak menerapkan hukum sebagaimana yang diinginkan oleh Allah Azza wa Jalla.
Akan tetapi sebagian negeri lebih banyak dari negeri yang lain (di dalam menerapkan selain hukum Allah, Red), dan sebagiannya lebih sedikit dari yang lain. Sebagiannya terang-terangan dan sebagiannya sembunyi-sembunyi.
Tidak ada yang bisa memberikan solusi kecuali Allah Azza wa Jalla. Tidak ada yang dapat kita lakukan kecuali bersabar, berdo’a, tetap istiqamah, dan tetap berdakwah di jalan Allah Azza wa Jalla dengan landasan ilmu.
Sedangkan revolusi, mengkafirkan, memberontak kepada pemerintah, membuat huru-hara dan mengerahkan massa ; ini semua tidaklah berjalan pada jalan yang haq, dan juga bukan merupakan jalan orang yang berada di dalam kebenaran.
Adapun berkaitan dengan pekerjaan, menjadi pegawai di negara ini atau negara itu, maka hukum suatu pekerjaan apa saja, di manapun tempatnya, tergantung dengan hakikat dan tabi’at pekerjaan itu sendiri. Jika pekerjaannya syar’i (sesuai agama) atau minimal tidak melanggar syara’ (agama), maka ini boleh, meskipun (bekerja) pada orang-orang kafir murni. Bermu’amalah dengan orang-orang kafir hukumnya boleh, selama mu’amalah itu tidak melanggar syari’at. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat sedangkan baju besi beliau digadaikan pada orang Yahudi, hadits riwayat al Bukhari.
Kalau begitu, sebelum engkau mengatakan boleh atau tidak boleh, maka lakukanlah dengan sempurna dan sebaik-baiknya pekerjaanmu, agar engkau tidak melanggar syari’at, dan agar engkau tidak melalaikan pekerjaan yang telah diwajibkan atasmu. Jika kondisinya seperti ini, maka boleh.
Sedangkan jika pekerjaan (tersebut) kehilangan salah satu dari dua hal di atas (yaitu kesesuaian dengan syari’at atau tidak melanggar syari’at), maka tidak boleh. Dan ini, tidak ada hubungan antara negara tersebut melaksanakan syari’at Allah Azza wa Jalla atau tidak, dalam naungan kedua syarat ini. Sebab kalau tidak, misalnya ada sebuah negara berhukum dengan syari’at Allah Azza wa Jalla, lalu ada salah seorang pegawai melakukan pelanggaran syari’at, apakah keadaan negaranya yang menerapkan syari’at Allah wa Jalla ini bisa memberikan pertolongan baginya? (Yakni menjadikan pekerjaannya yang menyelisihi syari’at itu manjadi halal?). Tidak akan bisa memberikan pertolongan. Jadi, hukumnya tetap terkait dengan hakikat pekerjaan yang dilakukan. Wallahu ‘alam.
(Muhadharah di Masjid al Muhajirin, Malang, Kamis, 16 Februari 2006 M).
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 01/Tahun X/1427H/2006M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
Artikel asli: https://almanhaj.or.id/3724-hukum-menjadi-pegawai-negeri-2.html